Antisocial Personality Disorder

DISCLAIMER: Seperti yang dibahas oleh Jester pada artikel self-diagnosis sebelumnya, mendiagnosa diri sendiri dengan gangguan kejiwaan haram hukumnya dilakukan. Tujuan pembuatan dari artikel ini bukanlah agar kamu bisa mendiagnosis dirimu sendiri, melainkan agar kamu menjadi lebih aware dengan gangguan kejiwaan yang ada (dan pastinya for the sake of #themoreyouknow).

***

Mendengar kata “antisosial”, kebanyakan orang mungkin akan langsung terbayang pada gambaran seseorang yang duduk di pojok ruangan, sendirian, tertutup, dan tidak memiliki teman. But no, bukan itu antisosial yang dimaksud dalam artikel ini. ASPD (Antisocial Personality Disorder) mungkin lebih kamu kenal dengan kata “psikopat” atau “sosiopat”. Akar dari kata psikopat berfokus pada gagasan bahwa ada sesuatu yang tidak benar (patologis) pada fungsi psikologis individu. Sedangkan akar dari kata sosiopat berpusat pada deviasi (penyimpangan) sosial orang tersebut. Kata ini dahulu digunakan untuk menunjukan tipe orang yang kini termasuk dalam ASPD.

Dalam DSM-V, terdapat 10 jenis gangguan kepribadian (diluar General Personality Disorder) yang kemudian digolongkan kembali menjadi 3 kelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada kemiripan deskriptifnya. ASPD sendiri termasuk dalam kelompok B, dimana pola prilaku dari berbagai jenis gangguan didalamnya adalah dramatis, emosional dan eratik (tidak menentu).

Orang dengan ASPD secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum (namun bukan berarti semua kriminal menunjukkan tanda-tanda ASPD dan tidak semua orang dengan ASPD pasti kriminal (Lilienfeld & Andrews, 1996)). Mereka mengabaikan norma dan konvensi sosial, impulsif, serta gagal membina komitmen interpersonal dan pekerjaan. Mereka memiliki tingkat kecemasan yang rendah ketika berhadapan dengan situasi yang mengancam dan kurangnya rasa bersalah atau penyesalan atas kesalahan yang mereka lakukan. Orang dengan ASPD juga sangat manipulatif. Mereka sering kali berbohong, menggunakan identitas palsu, atau menipu orang lain demi kesenangan pribadi. Mereka juga mudah tersinggung dan agresif serta tidak mempedulikan keselamatan diri dan orang lain.

Dibandingkan dengan perempuan, penderita ASPD lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Tingkat prevalensi untuk gangguan ini dalam sampel komunitas berkisar antara 3% sampai 6% pada laki-laki dan sekitar 1% pada perempuan (APA, 2000; Kessler dkdkk 1994). Untuk mendapatkan diagnosis ASPD, orang tersebut paling tidak harus berusia 18 tahun, sudah menunjukkan gejala antisosial mulai umur 15 tahun dan terdapat bukti mengidap conduct disorder sebelum berumur 15 tahun.

Penyebab terjadinya ASPD pada seseorang dapat dilatarbelakangi oleh banyak hal. Pandangan psikodinamika, behavioral dan kognitif telah mencoba untuk dapat menjelaskan ASPD. Namun, studi menunjukkan bahwa faktor biologis memegang peranan penting terhadap munculnya ASPD. Orang dengan ASPD, khususnya mereka yang sangat impulsif dan agresif, menunjukkan aktivitas serotonin yang lebih rendah dibanding rata-rata. Studi lain juga menunjukkan bahwa individu dengan gangguan ini memiliki defisiensi pada lobus frontalnya, khususnya bagian korteks prefrontal. Bagian otak ini diketahui bertanggung jawab terhadap pembentukan perencanaan, strategi, rasa empati, simpati dan penilaian.

Sementara itu, treatmen yang ada saat ini pun masih dirasa belum efektif dalam menangani ASPD. Kesulitan terbesar yang ada dalam melakukan treatmen adalah rendah atau bahkan tidak adanya keinginan dari penderita sendiri untuk berubah. Kebanyakan dari mereka terpaksa mengikuti terapi lantaran perintah dari atasan, sekolah, hukum atau menemui terapist untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan yang lain.

Bentuk terapi kognitif berupa terapis memandu kliennya yang mengidap ASPD untuk mencoba memikirkan mengenai isu-isu moral serta kebutuhan orang lain pernah dicoba untuk dilakukan. Beberapa rumah sakit dan penjara pun pernah mencoba membentuk komunitas terapeutik untuk orang-orang dengan ASPD dalam bentuk yang serupa. Beberapa dari mereka memang terlihat menunjukkan kemajuan, namun sebagian besar justru tidak mengalami perubahan apapun.

Belakangan ini, klinisi tengah mencoba terapi menggunakan obat antipsikotik untuk merawat orang-orang dengan ASPD. Sebagian melaporkan bahwa obat tersebut membantu mengurangi kemunculan beberapa gejala perilaku dari ASPD, namun penelitian lanjutan memang masih perlu untuk dilakukan.

Referensi:
- Comer, R. J. (2013). Abnormal Psychology (8th ed.). New York: Worth Publishers.
- Rathus, S. A., Greene, B., & Nevid, J. S. (2003). Abnormal Psychology in a Changing World (5th ed.). NJ: Prentice Hall.

- Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: DSM-5. (2013).


Artikel ini bersumber dari: https://perspektifofficial.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA ANAK TUNANETRA

NILAI RUJUKAN KURIKULUM

SIMULASI MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DAN KREATIF