Kekerasan Agama ditengah Negara Multikulturalisme Agama

​Disclaimer : Dilarang membaca bagi imannya yang tidak kuat, dimana bacaan ini penuh berisi statistik dan fakta dari sumber yang tertera dan mungkin bakal membuat kalian segera menjadi pakar akhirat di kolom komentar lalu berteriak ” Ini tulisan bodoh ” dimana justru hal tsb bakal mereduksi keyakinan yang dinyatakan damai itu. Ini hanya tulisan refleksi bagaimana seharusnya kaum agamawan berbenah dan tidak saling menjustifikasi kesesatan di lain pihak.
FYI, ini adalah salah satu request dari perspekter saat sesi merayakan 25 ribu follower Perspektif.

Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram melakukan pembunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan. Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran untuk melakukan penindasan nyaris tanpa henti kepada Palestina.
Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga Kristiani diminta untuk memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga terus dikepung oleh konflik yang terkait dengan agama. Fenomena yang sama berulang kembali: agama digunakan untuk membenarkan tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik yang tersembunyi.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam ini terus berulang? Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan universal dalam hubungan dengan yang transenden, terus menerus dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab? Mengapa hubungan agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita nyaris tidak belajar apapun dari berbagai peristiwa ” sangat terhormat ” ini ?

Indonesia adalah negara yang multikultural yang beragam budaya, bahasa, adat istiadat dan agama. Perbedaan inilah yang seharusnya dihormati dan dihargai sebagai bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenaran akan keyakinannya sendiri ditambah dengan tindakan kekerasan kepada yang berbeda selama ini menimbulkan keresahan serta perpecahan antar kelompok dalam sebuah negara yang beragam.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mayoritas untuk menyerang minoritas akan membuat dampak yang negatif secara perlahan-lahan. Mayoritas akan selalu merasa tersaingi akan hadirnya kaum minoritas pun sebaliknya minoritas akan merasa selalu terancam keberadaan mereka yang jauh dari rasa aman. Kekerasan ini bukan saja kekerasan fisik saja misalnya, merusak bangunan tempat ibadah dan aksi main hakim sendiri yang bisa menimbulkan korban jiwa seperti aksi bom yang kerap terjadi di tempat-tempat Ibadah.
Dalam bentuk serangan psikologis kekerasan atas nama agama terjadi lewat agitasi propaganda dengan memberikan stigma sesat yang akhirnya menjadi pembenaran dalam melakukan penyerangan. Seperti yang terjadi pada aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, Gereja GKI Yasmin di Kota Bogor dan, HKBP Filadelfia, Bekasi.

Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh gereja karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci. Orang-orang yang tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara literal dan menerapkannya di dalam konteks yang berbeda.
Proses eksegese yang sebenarnya diabaikan, sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah tanpa melakukan penggalian apapun.
Hal itu pun sama terjadi terhadap agama Islam, khususnya di Indonesia. Berdasarkan
survei yang dilakukan, perilaku kekerasan agama di Indonesia berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual.

Berdasarkan hal di atas agama terkesan merupakan sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab Suci agama lah yang bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama.
Di samping mendorong perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat dalam diri seseorang.
Agama profetik seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat mudah terjadi apabila salah satu kelompok merasa identitasnya terancam.
Sebagai contoh, bisa kita lihat pada konflik Ambon dan Poso jika pada konteks dalam negeri. Potensi ini menjadi semakin besar ketika para pemimpin politik berusaha mengkonstruksi identitas negara berdasarkan agama tertentu yang mayoritas.
Di satu sisi, itu bisa menimbulkan arogansi dari kelompok pemeluk agama yang mayoritas dan perasaan terancam dan terintimidasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas. Namun demikian, sejarah kekristenan telah membuktikan bahwa semakin dekat gereja secara institusi dengan politik pemerintahan, semakin bobrok kondisi keagamaannya.
Usaha-usaha untuk mebentuk negara Kristen telah dilakukan dan terbukti gagal. Calvin mencoba menciptakan sebuah kota yang ilahi di Geneva dan tidak berhasil. Demikian juga pada abad ke-4 ketika Konstantinus “bertobat” dan menyatukan gereja dengan negara, pada akhirnya itu pun mengalami kegagalan baik di dalam sisi pemerintah maupun gereja itu sendiri.
Gereja pada akhirnya terlibat secara aktif dalam tindak kekerasan yang imoral dan melawan ajaran dari agamanya sendiri. Di Indonesia, pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita.
Bukan hanya gereja atau kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu terbentuknya semangat separatis.
Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror.

Segala bentuk kekerasan atas nama agama merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima oleh pihak manapun. Karena jika kita melihat pada bentuk dan substansi agama, maka tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan manusia untuk berbuat anarki dan kekerasan terhadap manusia lainnya.
Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut dilakukan atas nama suatu agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di dunia ini mengajarkan kasih sayang, toleransi, cinta damai, dan saling mengasihi antar sesama manusia lainnya. Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan kekerasan dilarang oleh semua agama.
Secara singkat, penyebab yang paling utama hingga menyebabkan orang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama ialah karena orang tersebut memiliki pandangan yang sangat sempit mengenai agama tersebut atau dengan kata lain dia hanya melihat agama itu sebatas bentuknya saja tanpa memahami substansi yang sesungguhnya, sehingga kekerasan yang dia lakukan dipandang sebagai tindakan yang benar dalam agamanya menurut pandangannya. Semua komponen masyarakat baik keluarga, tokoh masyarakat, pemuka agama dan pemerintah Indonesia perlu saling bekerja sama dan berkoordinasi secara baik, teratur, dan sistematis dalam pemberantasan segala bentuk kekerasan yang terjadi yang dalam hal ini dilakukan atas nama agama pada khususnya. Upaya-upaya pencegahan yang telah diutarakan di atas, akan benar-benar terlaksana dengan baik dan benar jika pemerintah dan seluruh komponen masyarakat mau bekerja sama dan saling menaruh kepercayaan yang baik dan tinggi.
Hidup di kehidupan yang plural, bukan berarti kita bebas untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, tetapi seharusnya kita lebih banyak menumbuhkan semangat toleransi antar umat beragama. Dengan semakin banyaknya aksi kekerasan atas nama agama di Indonesia ini, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia harus mampu memahami dan mempelajari bentuk dan substansi agama secara lebih mendalam dan benar agar kita semua mampu menggunakan nalar dan rasio kita dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama tersebut dengan benar dalam kehidupan nyata dan bukannya melakukan tindakan kekerasan yang dilandaskan agama tersebut.
Resedivis_ @ Perspektif
All Rights Reserved

Sumber:
– Adianto P. Simamora Cases of religious violence up: Report dalam The Jakarta Post
Sumber tulisan : https://perspektifofficial.com/2016/08/24/potret-buruk-kekerasan-agama-di-indonesia/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA ANAK TUNANETRA

NILAI RUJUKAN KURIKULUM

SIMULASI MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DAN KREATIF