MARHAEN DAN MARHAENIS
Di dalam konferensi di kota Mataram
baru-baru ini, Partindo telah mengambil putusan tentang Marhaen dan
Marhaenisme, yang poin-poinnya antara lain sebagai berikut:
Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan
Sosio Demokrasi.
Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum
Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Partindo memakai perkataan Marhaen, dan
tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam
perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan
bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di
dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi
elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen
itu.
Di dalam perjuangan Marhaen itu maka
Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
Marhaenisme adalah azas yang menghendaki
susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan
Marhaen.
Marhaenisme adalah pula cara perjuangan
untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang
oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan
dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa
Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
* * *
Sembilan kalimat dari putusan ini
sebenarnya sudah cukup terang menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme.
Memang perkataan-perkataannya di sengaja perkataan-perkataan yang populer,
sehingga siapa saja yang membacanya, dengan segera mengerti apa
maksud-maksudnya. Namun, -ada satu kalimat yang sangat sekali perlu diterangkan
lebih luas, karena memang ssangat sekali pentingnya. Kalimat itu ialah kalimat
yang kelima. Ia berbunyi: “Di dalam perjuangan Marhaen itu, maka Partindo
berkeyakinan, bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.”
Satu kalimat ini saja sudahlah membuktikan,
bahwa cara perjuanngan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak
ngelamun, cara perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut
kenyataan”, -cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di situ?
Yang dikatakan disitu ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen, kaum Proletar
mengambil bagian yang besar sekali.
Ya, disini dibikin perbedaan paham yang
tajam sekali antara Marhaen dan Proletar. Memang di dalam kalimat nomor 2,
nomor 3 dan nomor 4 daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan paham
itu: bahwa Marhaen bukanlah kaum Proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum
Proletar dan kaum Tani melarat Indonesia yang lain-lain, -misalnya kaum dagang
kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan kaum
lain-lain. Dan kemodernannya dan kerasionilannya kalimat nomor 5 itu ialah,
bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada kaum Proletar dan kaum Tani dan
kaum melarat lain-lain itu, kaum Proletarlah mengambil bagian yang besar
sekali: Marhaen seumumnya sama berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup,
Marhaen seumumnya sama berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan
Marhaen seumumnya pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar
sekali.
Ini, paham ”Proletar mengambil bagian yang
besar sekali”-, inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasional.
Sebab kaum Proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum
Proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh kapitalisme, kaum
Proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya kemodernan Sosio
Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras dengan jaman”, mereka
lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih “konkret”, dan…Mereka lebih besar
harga perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain.
Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi
feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas
awang-awang, tidak begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum
Proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh.
Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu
Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa
kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel akan
“kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya pergaulan hidup
baru dengan termenung di dalam gua.
Mereka di dalam segala-galanya masih
terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu:
mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara
produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka
punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka
punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara
menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek
seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya
ideologi pasti berwarna kuno pula!
Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas
adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah
kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara
produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula
lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya
tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme.
Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti
kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi
pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi
“pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum tani”, sejak
adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan melawan stelsel (sistem, ed.)
kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah
berkata bahwa di dalam perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus
menjadi “revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum
tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan
kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan nanti menjadi
begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam perjuangan bersama ini kaum
buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji Revolusi Sosial”. Sebab, memang
merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “social noodwendigheid”
(suatu keharusan dalam sejarah, ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah
yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat,
suatu kemustian di dalam riwayat.
Welnu, jikalau benar ajaran Marx ini, maka
benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang
mengatakan bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang
besar sekali.
Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan
di Eropa tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme
terutama sekali kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali
kapitalisme pertanian? Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere industrie,
sedang disini ia buat 75% bersifat onderneming (perkebunan, ed.) karet,
“onderneming” teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina,
dan lain sebagainya? Bahwa disana hasil kapitalisme itu ialah terutama sekali
kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama sekali ia menghasilkan kaum tani
melarat yang papa dan sengsara? Bahwa disana memang benar mati hidup
kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian
besaar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya disana kaum
Proletar yang menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus
begitu juga?
Ya,… benar kapitalisme disini adalah 75%
industril kapitalisme pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu
buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak
merubah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa
panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara militer:
yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu,
tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh dimuka, berjalan dimuka,
berkelahi mati-matian dimuka, -mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan
keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan
pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas
Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan
pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen
tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu
diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran
ini, kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu,
bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan
politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan sekerja adalah
juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya!
Fikiran Ra’jat 1933
Catatan: Sociale Noodwendigheid: Suatu
keharusan di dalam masyarakat.
Komentar
Posting Komentar