Tentang Feminisme

Jika seorang individu mempercayai bahwa setiap gender memiliki hak dan kesempatan yang sama, maka dia adalah feminis. Feminisme muncul karena adanya ketimpangan hak dan kesempatan terhadap gender wanita pada umumnya, sebagaimana sama dengan ide persamaan hak lainnya. Ide gerakan persamaan tersebut disebut sesuai dengan representasi kaum mana yang mengalami diskriminasi, dalam hal feminisme, gender non-maskulinlah yang mengalami diskriminasi. Misalnya, gay rights muncul karena kaum gaymengalami opresi dan diskriminasi, atau anti-apartheid muncul karena kaum kulit hitam di Afrika mengalami diskriminasi oleh kaum kulit putih, maka disebut demikian.
Definisi feminisme sebagai ide akan persamaan hak bagi tiap gender nampaknya sulit untuk diterima dan dilihat oleh khalayak umum, mengingat di abad 21 peradaban manusia berada dalam suasana patriarkis-modern dimana hak-hak perempuan mulai tersuarakan dan emansipasi pun santer terdengar (akan tetapi seksisme masih banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari). Sehingga akan lebih mengena jika kita mengenal definisi feminisme sebagai “a movement to end sexism, sexist exploitation, and oppression” sebagaimana tertuang dalam Feminism is for Everybody oleh Bell Hooks 2000. Definisi tersebut menyatakan bahwa yang merupakan musuh feminisme bukanlah pria, tetapi praktik seksisme itu yang harus dihentikan. Perjuangan ini tidak akan berhasil jika hanya dilakukan dari pihak wanita saja. Sulitnya dalam menghentikan seksisme adalah karena tidak hanya pria saja yang melakukannya, namun seringkali wanita sendiri membenarkan dan juga melakukan seksisme. Jika praktik seksisme dihentikan, sebenarnya bukan hanya perempuan yang mendapatkan keuntungan, namun juga bagi laki-laki dan bagi gender-gender lainnya. Keuntungan-keuntungan yang dimaksud antara lain dapat memberi keuntungan secara ekonomi, memicu perubahan definisi pemerkosaan termasuk pada laki-laki, memberi ruang lebih bagi para ayah untuk bersama-sama dengan anaknya, memperluas definisi hate crimes bagi para identitas gender, memperbaiki hubungan rumah tangga, dan sebagainya (Plank, 2014). Jika terdapat gerakan mengatasnamakan feminisme namun tujuannya adalah untuk menggulingkan kekuasaan laki-laki, maka hal tersebut bukanlah feminisme—walaupun dapat dimengerti bahwa gerakan femen muncul dikarenakan sakit hati terhadap patriarkis yang telah menindas wanita selama berabad-abad—namun seksis semata yang menginginkan dominasi.

Seksisme: Seks, Gender, Orientasi Seksual, dan Kodrat
Untuk melawan seksisme, maka kita perlu mengetahui perbedaan seks, gender, orientasi seksual, dan kodrat. Seks secara sederhana adalah jenis kelamin biologis yang menempel pada organ tubuh manusia, yaitu perempuan dan laki-laki sedangkan gender merupakan konstruksi budaya yang diinternalisasi oleh manusia lewat proses belajar dan diidentifikasi dengan struktur masyarakat (Bhinneka, Gender, 2013 : 22), yang secara umum dikenal terutama di Indonesia adalah feminin, maskulin, dan waria. Waria seringkali terendahkan dan tersisihkan terutama dalam kehidupan, akan tetapi di bidang hiburan dan kecantikan mereka sangat diterima. Tidak ada suatu angka tetap mengenai persepsi gender ini, karena misalnya suku Bugis mengenal 5 gender, atau di Muangthai, yang mengenal sekitar 10 gender (Jurnal Gandrung, 2010 : 4). Ada pula transgender, ada juga androgini. Namun dari konsep patriarki, gender hanya ada dua dan masing-masing menempel pada satu jenis kelamin saja—feminin pada wanita, dan maskulin pada pria. Dan sifat-sifat feminin ataupun maskulin tidak murni dimiliki satu saja pada tiap orang, oleh karena itu kita mengenal sifat tomboy atau banci. Orientasi seksual merupakan hal lain lagi yang berbeda, yaitu terdapat heteroseksual, homoseksual, dan aseksual. Anggapan yang disebut “normal” atau straight adalah heteroseksual, yaitu menyukai lawan jenis. Homoseksual terbagi menjadi gay yaitu pria yang menyukai pria kembali, dan lesbian yaitu wanita yang menyukai wanita. Dan yang terakhir adalah aseksual, di mana seseorang benar-benar tidak memiliki daya tarik secara seksual terhadap orang lain. Namun orang aseksual tidak sepenuhnya “tidak tertarik” kepada manusia lainnya—jika melihat pria tampan maka dia akan tetap menyebut tampan, tetapi hanya tidak tertarik secara seksual.
Sedangkan kodrat, hakikatnya adalah fungsi dari tubuh tiap individu itu sendiri. “Kodrat” yang seperti wanita harus menyukai laki-laki, lembut, perasa, lemah, atau pria harus menyukai wanita, agresif, dan kuat sejatinya adalah hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial berubah setiap waktu, oleh karena itu, sejatinya “kodrat” seharusnya dilihat dari sudut pandang biologis. Contohnya yaitu kodrat wanita adalah mengalami menstruasi dan melahirkan, sedangkat kodrat laki-laki adalah memiliki jakun dan memproduksi sperma.

Gelombang-gelombang Feminisme
First-wave Feminism
Pada akhir abad 19, konsep feminisme mulai tumbuh. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara tiap kelompok feminis. Beberapa mendukung konsep “persamaan melalui perbedaan”, yaitu menerima bahwa tetap terdapat perbedaan antara wanita dan pria, sehingga perbedaan tersebut akan membedakan kekuatannya dalam kehidupan sosial. Kelompok lain memandang bahwa wanita seharusnya tidak diperlakukan berbeda sama sekali, dan sangat berfokus pada hak berpolitik, yaitu untuk memilih (The Politics Book, 2013: 286).
Second-wave Feminism
Gelombang kedua memiliki tujuan politik dan khalayak yang lebih luas. Pada tahun 1960an, gerakan ini disuarakan banyaknya oleh radikal feminis mengenai diskriminasi terhadap wanita di rumah dan di tempat kerja. Pada gelombang kedua pun menjadi ajang kelompok lain untuk bersuara seperti kaum kulit hutam dan homoseksual. Gelombang kedua memprotes kontes kecantikan dan simbol komersialisasi wanita lainnya, seperti kosmetik, high heels, dan makeup yang mengasumsikan bahwa penampilan wanita adalah yang terpenting (Krolokke dan Sorensen, 2006 : 1, 8).
Third-wave Feminism
Mulai tahun 1990-an, feminisme gelombang ketiga berfokus pada lingkup politik yang lebih luas. Gelombang ketiga menyuarakan mengenai kesempatan yang luas bagi tiap gender dan menekan seksisme untuk menghilangkan harapan tertentu mengenai gender dan stereotip. Isu yang dibahas menjadi kompleks mengenai gender, seksualitas, kelas, dan usia (Krolokke dan Sorensen, 2006 : 15-21).
The Great Goddess
Kepercayaan Tuhan pertama dan nabi-penyair priest-poet pertama yang tercatat sejarah adalah Innana dengan Enheduanna yang berasal dari Sumeria sekitar 2.300 S.M. Rentang historis lebih mengejutkan, karena berdasarkan temuan arkeologis, pada 25.000 S.M. terdapat “Venus figurines” dari batu dan gading di Eropa, dalam lumpur sungai Nil Mesir, sebagai gambaran “the Great Mother” (Miles, 2001 : 34-35). Kepercayaan awal merujuk pada sosok perempuan bukan tanpa alasan, yaitu karena perempuan merupakan sumber kehidupan: kelahiran—oleh karena itu hingga saat ini kita mengenal istilah ibu pertiwi, mother earth, bahkan hingga sebutan motherboard pada istilah teknologi, dan kita tidaklah mengenal bapak pertiwi atau father earth sama sekali.
Matrifokus, bukan matriarki
Jika saat ini kita hidup dalam patriarki, maka di saat tersebut merupakan matrifokus: wanita dan pria memiliki peran dan kesempatan yang sama dalam berpolitik, bermasyarakat, dan aspek kehidupan lainnya, meskipun ketua suku atau suatu perkumpulan politik didominasi oleh wanita. Hal ini muncul dikarenakan sistem kepercayaan yang berkembang di saat itu, dan yang uniknya, semua menunjukkan bahwa kekuatan berada dalam wanita sebagai primal Goddess, namun tetap ada powersharing. Misalnya tanpa Isis (Mesir kuno), Ra akan mati, sehingga dunia akan dikuasai kegelapan dan kematian. Garis kekuasaan dan properti diwariskan lewat garis perempuan, yang kemudian masih tetap diadaptasi pada periode awal patriarki.
Keruntuhan Dewi-dewi
Kepercayaan Tuhan-wanita runtuh ketika pengetahuan mulai berkembang. Ketika ilmu pengetahuan menyatakan bahwa laki-laki memiliki peran terhadap prokreasi, hal ini sangat menggemparkan masyarakat sehingga anggapan bahwa perempuan adalah ilahi (divine) runtuh. Maka timbullah berbagai keresahan sosial karena sistem menjadi rapuh. Ironisnya, kaum pria melakukan diskriminasi kepada wanita karena kepercayaan yang kemudian muncul baik agama samawi maupun agama bumi meletakkan wanita sebagai subordinat pria, tidak kembali seimbang seperti pada periode matrifokus (Miles, 2001).
Selanjutnya ketika patriarki semakin berkuasa, peran perempuan dipukul telak dengan menggulingkan kuasa prokreasi, yaitu dengan menabukan seksualitas wanita. Sebagaimana matrifokus bersandar pada kepercayaan Mother-Goddess, patriarki juga mengandalkan kepercayaan dan agama untuk bertahan (Miles, 2001). Wanita yang sebelumnya bebas melenggang dalam aktivitas di luar atau untuk memilih pasangan mulai ditutupi dan ditarik peredarannya dari kehidupan berpolitik dan diwajibkan untuk menutupi seksualitasnya dan melakukan pekerjaan domestik saja—melalui sistem kepercayaan, yang di mana, sulit untuk dipertanyakan di saat itu.
Keterbukaan seksual wanita sering diartikan sebagai kriminal dan dituding sebagai sumber malapetaka. Padahal pemerkosaan terjadi karena lenyapnya rasa hormat terhadap tubuh yang lain (Bhinneka, Tubuh dan Kekuasaan, 2012). Termasuk dalam urusan menstruasi, keajaiban menstruasi ini menjadi berubah ketika kepercayaan patriarki mengambil alih. Menstruasi wanita dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan, najis, dan mengharuskan isolasi. Belakangan kita mengetahui bahwa menstruasi hanyalah sebuah efek dari siklus reproduksi biasa.
Uniknya, dari bangkitnya patriarki ini muncullah incest. Matrifokus tidak hancur secara langsung, sebagaimana pada zaman sebelumnya garis keturunan bersandar pada wanita, maka seorang raja tidak dapat berkuasa jika tidak menikahi ratu. Ketika ratu meninggal, maka tampuk kekuasaan turun pada anak perempuannya. Maka, jika raja masih ingin berkuasa, maka raja akan menikahi anak perempuannya sendiri, atau akan menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya, sehingga setidaknya raja tetap memegang tampuk kekuasaan melalui darahnya sendiri (Miles, 2001 : 65). Namun saat ini sistem tersebut sudah sangat jarang.
Dari kemajuan teknologi saat ini, kita akhirnya mengetahui bahwa dalam reproduksi tidak ada seks mana yang dominan atau yang paling penting. Baik wanita dan pria sama-sama memiliki kontribusi terhadap reproduksi, wanita menyediakan satu kromosom dan pria satu kromosom lainnya, sehingga ketika terbentuk XX maka lahirlah perempuan, dan XY melahirkan laki-laki. Maka anggapan bahwa terdapat suatu gender yang merupakan subordinat adalah sudah tidak relevan mengingat patriarki berdasarkan pada supremasi pria yang dianggap sebagai penentu prokreasi.

 

Feminisme di Indonesia 
Kedudukan kaum wanita Indonesia pada mulanya mempunyai tempat yang sangat baik. Beberapa contohnya antara lain Ratu Sima dari Kerajaan Keling, Tribhuwanatunggadewi dari wangsa Isyana, Suhita dari Majapahit (yang terkenal dalam cerita Menakjingga dan Ratu Kalinyamat dalam sejarah Demak), Bundo Kadung dari Minangkabau, di Aceh pada abad ke-17 takhtanya juga pernah diduduki seorang wanita, demikian juga di Sulawesi Selatan. Di desa-desa Ambon, para wanita bisa memimpin dibantu oleh dewan desa, di pulau Bali wanita mendapat penghormatan kerajaan, dan di Kalimantan wanita sanggup memerintah. Di Jawa barat misalnya dalam cerita pantun Lutung Kasarung, Sunan Ambu sebagai Batari yang berkuasa di Kahyangan, berputra Guru Minda atau Lutung Kasarung yang merupakan suami dari Ratu Purbasari, mengajarkan kepada rakyatnya ilmu bertani padi. Istrinyalah yang berhak dan menjabat sebagai raja, suaminya hanya bertindak sebagai pendamping, semacam Prins Gemaal di negeri Belanda atau Prince Consort di Inggris pada zaman sekarang (Wiriatmadja, 1980 : 26). Perempuan-perempuan Jawa dulu dengan leluasa mandi di kali, perempuan Bali dulu bertelanjang dada sambil menggendong buah-buahan di kepala, dan perempuan di Sunda merayakan seksualitas dengan canda. Nenek moyang kita mempunyai lingga-yoni dan serat Centini. Hal ini mengejutkan para pendatang Eropa yang dulu mendarat, jauh dibandingkan dengan perempuan Eropa yang berada di wilayah domestik (Bhinneka, Tubuh dan Kekuasaan, 2012).
Kemunduran posisi wanita terjadi ketika adanya pandangan-pandangan dari luar yang masuk pada budaya Indonesia. Feodalisme yang berkembang di zaman Mataram menempatkan istri sebagai lambang status sang pria, menggeser tempat wanita dari subjek menjadi objek. Kedatangan agama Islam memasukkan pandangan Arab yang menanggap wanita lebih rendah dari laki-laki. Kemerosotan perekonomian bangsa Indonesia di zaman kolonial terutama pada abad ke-19 menyebabkan kemerosotan umum, terutama di Jawa. Misalnya adalah perkawinan anak-anak, merupakan salah satu penyebab merosotnya kedudukan wanita ke arah sistem pergundikan. Pandangan-pandangan ini berpengaruh pada perubahan adat, seperti kawin gantung, kawin paksa, penolakan atau perceraian sepihak yang tidak menguntungkan perempuan, yang kemudian memberi anggapan pada perempuan mengenai status bahwa tidak menikah kurang baik atau tidak wajar (Wiriatmadja, 1980 : 27-28).


Gerakan Perempuan
Pada 23 Februari 1998, kaum intelektual dan ibu rumah tangga yang menyebut diri mereka sebagai Suara Ibu Peduli menggelar unjuk rasa di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, untuk menuntut reformasi ekonomi dan politik. Kejadian ini menandai untuk pertama kalinya dalam 32 tahun setelah Indonesia merdeka bahwa perempuan turun ke jalan melakukan unjuk rasa. Aksi tersebut mengundang simpati luas karena tidak dianggap sebagai kampanye politik, tetapi sebagai gerakan moral. Setelah aksi tersebut, kelompok-kelompok lain seperti kaum professional, pegawai negeri, dan mahasiswa turut maju (Suryakusuma, 2002 : 5).
Akan tetapi setelah turunnya Soeharto, perempuan dan isu perempuan meredup dan tidak terdengar kembali dalam tatanan “Indonesia Baru”. Hal ini disebabkan karena sifat masa transasi menyebabkan perhatian lebih terfokus kepada “isu-isu simbolis”: siapa yang akan menjadi pemimpin baru, apa yang menjadi landasan negara, dan pengadilah Soeharto. Kemudian, isu perempuan digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan politik lainnya. Terlepas dari Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan kandidat yang potensial atau tidak untuk menjadi presiden RI, isu presiden perempuan “tidak dapat diterima” akhirnya digunakan juga oleh Abdurrahman Wahid untuk memanipulasi gender Megawati yang notabene adalah temannya sendiri, agar naik dalam tampuk presiden (Suryakusuma, 2002 : 112-113).

Wanita di Indonesia: PKK dan Dharma Wanita
Sistem negara Indonesia berpengaruh besar dalam peletakkan perempuan sebagai subordinat laki-laki; istri sebagai subordinat suami, sebagaimana istilah dalam budaya Jawa “istri manut suami” atau “konco wingking” (teman di belakang).
Pembentukan PKK dan Dharma Wanita pada zaman Orde Baru menjadi tombak ‘penjinakkan’ perempuan Indonesia, yang disebut sebagai Mies dalam Julia (2001) “pengibu rumah tanggaan”. “Peng ibu rumah tanggaan” didefinisikan sebagai “proses yang merujuk perempuan secara sosial sebagai ibu rumah tangga yang penghidupannya tergantung penghasilan suami”, terlepas dari kenyataan apakah mereka ibu rumah tangga atau bukan. Dalam proses ini, perempuan dikotakkan menjadi ibu rumah tangga yang “tergantung” dan “tidak produktif”, yang menyelesaikan pekerjaan domestik secara “gratis”. Akibatnya, ia menjadi terasing dan terpencil, tidak terorganisasi, terampas dari kekuatan politik dan ekonomi, serta ditempatkan dalam posisi yang subordinat terhadap laki-laki (Suryakusuma, 2001 :178 p.3).
Ideologi mengenai program peran wanita dalam negara yang disebut Suryakusuma 2001) sebagai “ibuisme negara” terjawantahkan dalam Panca Dharma Kongres Wanita Indonesia:
  1. Wanita sebagai pendamping setia suami
  2. Wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa
  3. Wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak
  4. Wanita sebagai pengatur rumah tangga
  5. Wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna
(Suryakusuma, 2001 : 184)
Bila ruang lingkup kegiatan Dharma Wanita berada dari tingkat pusat hingga kecamatan, maka terdapat PKK di tingkat desa. Baik Dharma Wanita maupun PKK menjadi ajang negara untuk menyalurkan peran wanita bagi kepentingan pembangunan negara; namun sesuai dengan “kodrat dan peran” mereka sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Secara ekonomi, ibuisme negara membentuk pandangan bahwa perempuan adalah “pencari nafkah sekunder”, yang membenarkan mereka mendapat upah yang lebih rendah. Dalam program pembangunan pemerintah, akibat asumsi institusional bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, perempuan tidak mempunyai hak mengakses berbagai program seperti program kredit dan program pencrian nafkah yang mereka butuhkan (Suryakusuma, 2001 : 185 – 196). Hal ini semakin menyulitkan perempuan terutama bagi perempuan yang menjadi tulang punggung utama keluarga, yang tidak menikah atau ditinggal mati suami.
Peran Peradaban Manusia: Periode Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Sulit untuk memahami bahwa diskriminasi antar gender terjadi dikarenakan peradaban manusia itu sendiri. Oleh karena itu kita perlu memahami bagaimana peradaban dapat membentuk diskriminasi, dalam hal ini patriarki, sehingga memunculkan gerakan feminisme.
Pada zaman prasejarah ketika manusia melakukan peradaban “berburu dan mengumpul”, seksisme tidak terdengar. Aktivitas berburu dan mengumpul semata-mata dilakukan bukan karena gender, namun lebih kepada pembagian tugas. Adapun perempuan lebih banyak melakukan mengumpul dikarenakan perempuan memiliki anak-anak yang harus dirawat. Mengumpul merupakan hal vital yang diperlukan dalam suatu suku, karena daging buruan datang tidak tentu dan tidak sering, dan daging tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama terutama pada wilayah yang panas. Bekerja sehari-hari, kaum wanita menyediakan hampir 80% dari kebutuhan makanan.
● Hunting was a whole-group activity, not a heroic solo adventure
● Hunting did not mean fighting
● Men and women relied on each other’s skills, before, during, and after the hunt
(Miles, 2001)
Berburu, yang selintas berada dalam pikiran bahwa hanya dilakukan pria dan berdarah-darah, sejatinya tidak demikian. Berburu merupakan kegiatan kerja sama yang dilakukan oleh keseluruhan anggota suku—lebih banyak lebih baik, yaitu tidak hanya pria, namun juga wanita dan anak-anak. Makin banyak anggota yang berburu, maka makin banyak makanan yang didapat. Untuk berburu binatang besar maka diperlukan kerjasama dalam suatu grup. Berburu pun tidak berarti sebuah pertarungan, karena secara lazim berburu dilakukan secara; mengendap-endap, membuat jebakan, berhati-hati, dan pada binatang yang lemah atau lambat karena jika bertarung, maka resiko terluka akan besar dan meningkatkan kematian, ditambah dengan pengetahuan kedokteran yang sangat tidak cukup. Pembagian tugas ketika berburu selesai acapkali dilakukan dengan pria mengecek jebakan kembali untuk sasaran, dan wanita mengangkut bangkai untuk kemudian diolah menjadi makanan, baju, dan tulang untuk ornamen dan perkakas.

Tokoh Feminisme Indonesia: Dewi Sartika
Pada zaman pra-kemerdekaan, terdapat perbedaan besar dalam cara hidup antara anak gadis kalangan priyayi dengan gadis-gadis petani atau pedagang. Kehidupan anak gadis biasa lebih longgar dan bebas, dapat ikut membantu orangtuanya ke sawah dan bermain. Namun pendidikan anak-anak gadis petani hanya mendapat pelajaran mengaji dari guru ngaji di rumahnya atau di surau saja, karena pendidikan di sekolah dirasakan tidak perlu oleh orang tua mereka—dikarenakan jauh atau belum ada sekolah, dan anak-anak gadis tersebut cepat dikawinkan. Sedangkan anak gadis priyayi harus patuh terhadap sopan santun dan dibatasi dalam pertemanan dan permainannya. Mulai usia 10-12 tahun, gadis priyayi mengalami pingitan untuk bersiap memasuki kehidupan keluarga. Walaupun kaum priyayi mendapat hak-hak istimewa mengenai pendidikan, tidak berarti seluruh anak menikmatinya. Selalu yang didahulukan adalah pendidikan bagi anak laki-aki. Hal ini disebabkan adat istiadat yang beranggapan:
  1. Pendidikan bagi anak perempuan tidak perlu
  2. Bersama-sama dengan anak laki-laki dalam satu sekolah tidak baik, sehingga orang berkeberatan terhadap ko-edukasi
  3. Anak perempuan pada usia muda banyak membantu pekerjaan rumah tangga
  4. Bertentangan dengan adat
  5. Anak perempuan cepat menikah
  6. Anak perempuan yang sekolah akan sulit dalam memilih jodoh dan kemudian tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan di dapur
  7. Meskipun sekolah, anak perempuan toh tidak akan bekerja, sehingga pendidikannya sia-sia
  8. Anak perempuan yang sekolah kelak akan bersikap sombong terhadap suaminya yang tidak sekolah, dan alasan-alasan lainnya
(Wiriaatmadja, 1980 : 29 – 34)
Maka, keadaan kaum wanita menjelang berakhirnya abad ke-19 membutuhkan perbaikan yang menyeluruh, baik bagi kaum priyayi dan rakyat biasa. Dewi Sartika mencetuskan sekolah Kautamaan Istri yang ditujukan agar para wanita di saat itu memiliki keahlian—meskipun keahliannya berupa merenda, menjahit, dan keterampilan lainnya—agar dapat berguna dan menjadi sumber mata pencaharian secara mandiri. Tanggal 16 Januari 1903 didirikanlah Sekolah Istri, yang untuk jenisnya, pertama kali didirikan di Indonesia. Bertempat di Paseban Kabupaten Bandung sebelah barat, Sekolah Istri terdiri dari dua kelas dengan dua puluh murid dan tiga pengajar, yaitu: Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit. (Wiriaatmadja, 1980).
Dewi Sartika berpendapat sebagai berikut:
“Apa yang dibutuhkan pada umumnya untuk meningkatkan moral dan intelektual wanita pribumi? Menurut pendapat saya yang sederhana wanita dalam hal ini tidak berbeda banyak dari kaum laki-laki. Dia juga untuk pendidikan yang baik harus disekolahkan dengan baik pula. Pengembangan pengetahuan akan berpengaruh terhadap moral wanita pribumi.” (Wiriaatmadja, 1980 : 39 p.2)

Kesimpulan dan Solusi
Hingga saat ini, belum ada negara yang benar-benar menjalankan persamaan gender secara penuh, namun Islandia dapat menjadi percontohan paling baik. Setidaknya, selama lima tahun berturut-turut dari 2009 hingga 2013, Islandia adalah negara yang paling memilki sistem kesetaraan gender yang paling baik, diikuti oleh Finlandia dan Norwegia (World Economic Forum, 2013). Indonesia sendiri berada di urutan 95 dari 133 negara (BBC, 2013). Islandia memiliki tingkat partisipasi politik tiap gender berkisar pada 75% (gap gender yang terdapat hanya 25%). Sebagai negara yang dirangking nomor 1, Islandia memiliki perbandigan keikutsertaan pendidikan di mana wanita dan pria berbanding 1.5 dan 1, artinya setiap 2 pria yang mendapat pendidikan, maka terdapat 3 wanita lainnya yang juga bersekolah (World Economic Forum, 2013).
2015
@ Perspektif
All Rights Reserved 

Daftar Pustaka
BBC. 2013. Women gain as gender gap ‘narrows’. http://www.bbc.com/news/world-24650912 (diakses 18 Februari 2015)
Bhinneka. 2012. Tubuh dan Kekuasaan. Lembaga Bhinneka
Bhinneka. 2013. Gender. Lembaga Bhinneka
DK Publishing. 2013. The Politics Book. New York: DK Publishing
EU-Initiatives. 2013. The current situation of gender equality in Iceland – Country Profile. Roland Berger Strategy Consultants GmbH in partnership with ergo Unternehmenskommunikation GmbH & Co. KG
Hooks, Bell. 2000. Feminism is for Everybody. Cambridge, MA: South End Press
Krolokke, C., Sorensen., A. 2006. Gender Communication Theories and Analyses. Thousand Oaks, California: SAGE Publications
Miles, Rosalind. 2001. Who Cooked The Last Supper? – The Woman History of The World. New York: Three Rivers Press
Plank, Elisabeth. 2014. 23 Ways Feminism Has Made the World a Better Place for Men. http://mic.com/articles/88277/23-ways-feminism-has-made-the-world-a-better-place-for-men (diakses tanggal 16 Februari 2015)
Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks, dan Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu
Wiriaatmadja, Rochiati. 1985. Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
World Economic Forum. 2013. Insight Report – The Global Gender Gap Report. Cologny/Geneva, Switzerland: World Economic Forum
Yayasan GAYa NUSANTARA. 2010. Jurnal Gandrung Vol.1 No.2 – Kajian Seksualitas Kritis. Surabaya: Yayasan GAYa NUSANTARA
Sumber Tulisan:
https://perspektifofficial.com/2016/08/02/%E2%80%8Bfeminisme-part-1-of-3/
https://perspektifofficial.com/2016/08/12/%E2%80%8Bfeminisme-part-2-of-3/
https://perspektifofficial.com/2016/08/28/feminisme-part-3-of-3/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA ANAK TUNANETRA

NILAI RUJUKAN KURIKULUM

SIMULASI MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DAN KREATIF